Kesultanan Mataram adalah kerajaan
Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan
yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan
sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat
dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan
di Karawang.
Kehidupan Politik di Mataram Islam
a. Panembahan Senapati
Pada mulanya daerah Mataram
merupakan sebuah kadipaten yang diperintah oleh Kiai Gede Pamanahan (bekas
kepala prajurit Hadiwijaya yang mengalahkan Arya Penangsang).
Setelah Kiai Gede Pamanahan wafat
tahun 1575 M, kedudukan sebagai adipati Mataram digantikan oleh putranya yang
bernama Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senapati ing Aloko Saidin
Panotogomo. Ia bercita-cita menguasai tanah Jawa. Oleh karena itu, berbagai
persiapan dilakukan di daerah seperti memperkuat pasukan Wijaya dan penyerahan
tahta dari pangeran Benowo kepada Senapati.
Setelah berhasil membentuk kerajaan
Mataram, Senapati mengadakan perluasan wilayah kerajaan dan menduduki
daerah-daerah pesisir pantai seperti Surabaya. Adipati Surabaya menjalin
persekutuan dengan Madiun dan Ponorogo dalam menghadapi Mataram. Namun Ponorogo
dan Madiun berhasil dikuasai Mataram. Selanjutnya Pasuruan dan Kediri berhasil
direbut. Adipati Surabaya berhasil dikalahkan. Dengan demikian dalam
waktu singkat wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menjadi bagian dari
kekuasaan Kerajaan Mataram.
b. Mas Jolang
Mas Jolang memerintah Mataram dari
tahun 1601-1613 M. di bawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram diperluas lagi
dengan mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di sekitarnya.
Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan Mas
Jolang adalah Ponorogo, Kertosono, Kedir, Wirosobo (Mojoagung). Pada tahun 1612
M, Gresik-Jeratan berhasil dihancurkan. Namun, karena berjangkitnya penyakit
menular maka pasukan Mataram yang langsung dipimpin oleh Mas Jolang terpaksa
kembali ke pusat Kerajaan Mataram. Pada tahun 1613 M, Mas Jolang wafat di desa
Krapyak dan dimakamkan di Pasar Gede. Selanjutnya ia diberi gelar Pangeran Seda
ing Krapyak.
c. Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang
bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan
Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa.
Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw.
“kertå”, maka muncul sebutan pula “Mataram Kerta”). Akibat terjadi gesekan
dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di
Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan
Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC.
Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang
bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
d. Amangkurat 1
Amangkurat 1 memindahkan lokasi
keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar sultan, melainkan “sunan” (dari “Susuhunan” atau “Yang
Dipertuan”). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat
di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum.
e. Amangkurat 2
Amangkurat 2 memerintah Mataram dari
tahun 1677-1703 M. di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kerajaan Matarm
semakin sempit. Sebagian daerah-daerah kekuasaan diambil alih Belanda.
Amangkurat II yang tidak tertarik untuk tinggal di ibukota Kerajaan,
selanjutnya mendirikan Ibu Kota baru di desa Wonokerto yang diberi nama Karta
Surya. Di Ibu Kota inilah Amangkurat II menjalankan pemerintahannya terhadap
sisa-sisa kerajaan Mataram, hingga akhirnya meninggal tahun 1703 M.
Keruntuhan Mataram Islam
Pengganti Amangkurat II
berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719),
Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi “king in exile”
hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat
diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi
dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari
1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil
dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun
demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta adalah “ahli waris” dari Kesultanan Mataram.
Kehidupan di Mataram
Upacara Grebeg
Mataram yang letaknya jauh di pedalaman
Jawa Tengah adalah sebuah negara agraris, yaitu negara yang mengutamakan
pertanian sebagai sumber kehidupan. Di bawah pemerintahan Sultan Agung,
kehidupan perekonomian masyarakatnya berkembang sangat pesat dengan didukung
oleh hasil bumi yang melimpah.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung
pula dilakukan usaha memperluas areal persawahan dan memindahkan banyak
petaninya ke daerah Karawang yang sangat subur sehingga terbentuklah masyarakat
feodal. Upacara Grebeg yang bersumber dari pemujaan roh nenek moyang
berupa kenduri gunungan merupakan tradisi dari zaman Majapahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar