Perbedaan yang sangat mencolok dapat dilihat dan dirasakan apabila kita
berkendara menggunakan jalur nasional dari Pontianak ke Entikong menuju
Kuching dan kembali dari Kuching menuju Entikong. Meskipun jalan Trans
Kalimantan dari Pontianak ke Entikong saat ini jauh lebih baik dan
sebagian besar telah beraspal, namun di sana-sini terdapat jalan-jalan
yang ditambal sulam dan berlubang-lubang. Belum lagi masih ada ruas
jalan, sekitar 32 km lebih, yang dalam tahap pengerasan, sehingga
pengemudi yang melewatinya harus terlonjak-lonjak di dalam mobilnya.
Sesampainya di Entikong, kita pun dapat menemukan banyak jalan-jalan
poros yang masih berupa jalan tanah, kerikil, dan batu. Selain itu,
terdapat ±50 jalan setapak dan berpuluh-puluh jalan tikus yang
menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Sarawak.
Apabila malam menjelang, Trans Kalimantan terselimuti pekatnya kegelapan
malam karena fasilitas lampu jalan masih belum ada. Hanya lampu-lampu
mobil dan sesekali sepeda motor yang jadi penerang para pengendara yang
melintas. Padahal, jalan-jalan di Kalimantan tidak memiliki bahu jalan
karena biasanya langsung berada di tepi tebing, jurang, ataupun sungai
kecil, dan deretan rumah penduduk.
tanggapan :
Wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia umumnya jauh dari
jangkauan modal sehingga kondisinya tertinggal dalam berbagai hal
dibandingkan wilayah lain. Menurut sumber di Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal, terdapat 26 kabupaten yang terletak di
perbatasan. Semua kabupaten ini tercatat masuk dalam kategori daerah
tertinggal.
Keadaan ekonomi yang tertinggal di wilayah perbatasan bukanlah situasi
yang sangat khusus, karena keadaan serupa dapat ditemui di daerah lain
yang bukan perbatasan. Namun wilayah perbatasan mempunyai arti penting
tersendiri. Kita sudah sering mendengar pendapat berbagai kalangan
tentang arti penting tersebut, sehingga berkonsekuensi diperlukannya
prioritas pembangunan daerah perbatasan. Dari aspek pertahanan,
kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan berkaitan dengan
keadaulatan nasional suatu bangsa.
Banyak kejadian warga di perbatasan yang memilih pindah
kewarga-negaraan (WNI ke Malaysia) karena kesenjangan ekonomi kedua
negeri. Selain itu, bukan rahasia lagi bahwa penyelundupan kayu ilegal
banyak terjadi melalui daerah ini. Dari sini dapat ditarik pelajaran,
bahwa kecintaan terhadap tanah air bukanlah seperti wahyu dari langit,
melainkan dipengaruhi oleh kondisi sosio-ekonomi dan kultural yang
melingkupinya. Dapat dibayangkan, bila seorang anak WNI harus menempuh
jalan berpuluh kilometer untuk bersekolah, sementara di seberangnya,
anak warga negara Malaysia dapat dengan mudah mengakses sekolah, dengan
kualitas yang lebih baik pula.
Dari aspek lain, disebutkan bahwa daerah perbatasan adalah “serambi”
suatu negara, sehingga harus dikondisikan sebaik mungkin. Terlepas dari
arti penting tersebut di atas, kita melihat persoalan ketertinggalan di
daerah perbatasan berhubungan dengan kebijakan yang memusatkan akumulasi
modal di wilayah Jawa, atau lebih khusus lagi, Jakarta. Kebijakan ini
mengakibatkan tertinggalnya daerah-daerah di luar Jawa, dan imbasnya
adalah daerah perbatasan yang berada paling jauh atau terluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar